Penurunan Luas Hutan di DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane Memicu Krisis Lingkungan di Jabodetabek

Pers Pangannews

Thursday, 13 March 2025 14:20 WIB

news
Penurunan luas hutan di DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane memicu krisis lingkungan di Jabodetabek. (Foto : Antara)

Pangannews.id - Sisa luas hutan di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengaliri kawasan penting di Jabodetabek, yakni Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane, kini menyisakan kondisi yang memprihatinkan.

Berdasarkan data terbaru, hanya tersisa 14 persen hutan di DAS Ciliwung, 4 persen di Kali Bekasi, dan 21 persen di Cisadane. Secara keseluruhan, rata-rata luas hutan alam yang tersisa di DAS-DAS tersebut berada di bawah 30 persen dari total luas kawasan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) mewajibkan setiap kawasan DAS untuk memiliki minimal 30 persen luas hutan sebagai bagian dari sistem penyangga kehidupan.

Namun, kondisi yang terjadi saat ini menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar, di mana sebagian besar kawasan hutan yang ada sudah dalam kondisi terancam.

Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), menyoroti bahwa perubahan kebijakan yang tidak memihak pada perlindungan lingkungan justru memperburuk situasi ini.

Salah satu contoh nyata adalah kebijakan yang memprioritaskan hutan produksi di wilayah tersebut. Saat ini, sekitar 23 ribu hektare hutan di ketiga DAS tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, yang lebih mengutamakan hasil kayu dibandingkan dengan fungsi ekosistem yang lebih vital, seperti penyedia jasa lingkungan dan penyerapan karbon.

"Hutan harus dilihat sebagai fungsinya untuk menunjang sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar tegakan pohon untuk dieksploitasi," tegas Anggi, seperti dikutip dari Antara.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti perubahan kebijakan tata ruang di Kabupaten Bogor yang semakin memfasilitasi alih fungsi hutan dan lahan. Salah satunya adalah penyusutan kawasan lindung dalam rencana pola ruang Kabupaten Bogor.

Dari kawasan hutan lindung yang sebelumnya ada, kini diperkirakan sekitar 71.595 hektare telah dialihfungsikan menjadi kawasan hutan budi daya.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, kawasan lindung semakin sedikit dibandingkan dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 yang berlaku sebelumnya.

Di Kawasan Puncak Bogor, kawasan perkebunan teh yang dahulu berfungsi sebagai daerah resapan air, kini beralih fungsi sebagai kawasan budi daya untuk pembangunan pariwisata.

Perubahan peruntukan ruang ini terlihat jelas pada proyek-proyek besar seperti pembangunan objek wisata Hibisc Fantascy Puncak, yang memanfaatkan lahan resapan air untuk tujuan komersial. Proses konversi ini berdampak langsung pada ekosistem kawasan Puncak, yang kini menghadapi masalah serius dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

Krisis lingkungan yang diakibatkan oleh kerusakan hutan ini semakin jelas terasa. Banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor baru-baru ini menjadi salah satu buktinya. Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap, merendam pemukiman dan mengganggu infrastruktur di beberapa titik.

Tak hanya Bogor, kota-kota besar seperti Jakarta dan Bekasi pun turut terdampak oleh luapan Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi yang menggenangi wilayah-wilayah sekitarnya.

"Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sangat membutuhkan ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Sayangnya, hutan sering kali tidak lagi dipandang dari sisi fungsinya, melainkan sebagai komoditas yang bisa dikorbankan demi kepentingan pembangunan," ujar Anggi.

Kondisi ini semakin mendesak untuk segera ditangani dengan kebijakan yang lebih berpihak pada pelestarian hutan dan perlindungan ekosistem. Tanpa adanya langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi, bencana alam dan gangguan infrastruktur akan terus menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat di kawasan Jabodetabek.

Editor : Adi Permana


Kolom Komentar

You must login to comment...