Friday, 29 November 2024 08:29 WIB
Pangannews.id - Terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Kampung Cireundeu telah menjalani hidup tanpa nasi selama lebih dari satu abad, menjadikannya sebagai contoh keberhasilan dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan.
Dilansir dari Antara, sejarah dimulainya tradisi ini bermula pada tahun 1918, ketika Kampung Cireundeu mengalami masa sulit akibat kekeringan dan paceklik yang melanda wilayah tersebut.
Tanaman padi yang sulit tumbuh memaksa masyarakat untuk mencari alternatif sebagai makanan pokok. Singkong, yang mudah didapat dan kaya karbohidrat, kemudian menjadi pilihan utama.
Pada tahun 1924, melalui kesepakatan adat, warga Cireundeu sepakat untuk menjadikan singkong sebagai makanan pokok, sementara nasi dianggap sebagai pantangan. Sejak saat itu, singkong tidak hanya menjadi sumber pangan, tetapi juga simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu.
Filosofi yang diwariskan turun-temurun pun mengajarkan bahwa kenyang tidak harus dengan nasi, melainkan dengan apa yang ada di sekitar.
Menjadi Ikon Ketahanan Pangan
Pada awalnya, kebiasaan mengonsumsi singkong ini dianggap sebelah mata oleh sebagian kalangan. Banyak yang memandang rendah pilihan tersebut karena tidak mencerminkan gaya hidup modern.
Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan ini berubah. Kampung Cireundeu kini menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh pelajar, mahasiswa, peneliti, bahkan wisatawan mancanegara.
Pengunjung datang untuk mempelajari tentang ketahanan pangan dan bagaimana komunitas Cireundeu berhasil beralih dari nasi ke singkong, serta bagaimana mereka berhasil menjaga tradisi ini selama lebih dari 100 tahun.
Abah Widi, sesepuh adat Cireundeu, menjelaskan bahwa sejak kecil, ia tidak pernah merasakan nasi. Filosofi yang diajarkan nenek moyangnya, seperti yang diungkapkan dalam bahasa Sunda, menyatakan bahwa kenyang tidak selalu harus dengan nasi.
"Tidak punya sawah tidak masalah, yang penting kita bisa makan dan tetap kuat," jelas Abah Widi.
Desa Wisata yang Menjaga Kearifan Lokal
Sejak 2010, Kampung Cireundeu telah menjadi desa wisata yang dikenal luas. Meskipun tidak mengutamakan keuntungan ekonomi, masyarakat Cireundeu membuka pintu untuk pengunjung yang ingin belajar tentang pola makan berbasis ketahanan pangan dan kemandirian.
"Kami tidak membuat objek wisata baru. Ini adalah warisan budaya yang harus dijaga," kata Abah Widi.
Selain itu, warga Cireundeu juga mengolah singkong menjadi berbagai produk olahan seperti tepung singkong, keripik, kue, dan oleh-oleh khas, yang semakin memperkenalkan potensi ekonomi berbasis pangan lokal.
Pemerintah juga turut membantu dengan memberikan bantuan berupa mesin penggiling singkong untuk mendukung keberlanjutan produk berbasis singkong ini.
Pada 2024, tradisi makan rasi (beras singkong) dan upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura di Kampung Cireundeu resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penetapan ini memperkuat posisi Cireundeu sebagai pusat ketahanan pangan dan kebudayaan yang kaya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Febiyani, mengatakan bahwa masyarakat Cireundeu harus terus merawat dan melestarikan tradisi ini.
"Ada tanggung jawab besar setelah penetapan ini," katanya. Sebagai bagian dari upaya mengembangkan desa wisata, pemerintah juga mengupayakan perbaikan infrastruktur dan fasilitas, seperti homestay dan camping ground, untuk meningkatkan daya tarik wisatawan, khususnya generasi muda.
Editor : Adi Permana
8 menit dari sekarang
Monday, 09 December 2024 14:02 WIB
Wednesday, 04 December 2024 09:06 WIB
Tuesday, 03 December 2024 11:56 WIB
You must login to comment...
Be the first comment...