Thursday, 21 March 2024 08:09 WIB
PanganNews.id Depok, - Oleh M. Chairul Arifin, Purnabakti Kementan, Alumni Unair.
Beberapa pekan terakhir ini kita sering membaca di berbagai media sosial dan menyaksikan di televisi gambaran penduduk yang antre mengular untuk memperoleh beras murah Bulog di beberapa kota. Fenomena ini menjadi lebih miris lagi ketika para petani padi ikut juga mengantre justru untuk keperluan hidup sehari harinya. Ironi bukan?
Fenomena, macam apa lagi yang terjadi tentang tata kelola beras kita. Mengapa petani yang sejatinya produsen gabah ternyata ikut antri beras murah yang sudah seharusnya tidak terjadi. Antrean terjadi karena lonjakan harga beras di pasar yaitu harga beras medium Rp. 15.900 per kg dan jpremium sampai Rp. 18.000 sedangkan harga yang ditetapkan oleh pemerintah Rp. 10.400 untuk medium dan premium Rp. 14.900. Semakin lebar perbedaan ini maka semakin mengular antrean. '
Petani antri?
Ditengah antrian masyarakat tersebut ternyata, ikut pula para petani untuk mendapatkan beras murah. Menjadi pertanyaan kenapa petani yang produsen menghasilkan gabah ikut mengantre?. Jawabannya, karena petani pada saat itu telah berubah rupa menjadi nett consumer. Harga gabah yang juga ikut meningkat menyebabkan stock atau cadangan pangannya ikut terjual karena merasakan ada insentif harga. Petani yang produsen sekarang menjadi nett consumer sebagaimana masyarakat pada umurnya.
Tetapi lonjakan harga beras yang terjadi ternyata tidak sebanding dengan kenaikan harga gabah yang dia nikmati sebelumnya. Semula dia berharap kenaikan harga gabah yang dia nikmati tidak akan melonjak kan hsrga beras seperti saat ini. Akibatnya petani terpukul dengan kondisi ini. Selain stok berasnua sudah tiada dihadapkan pula dengan kenaikan harga beras yang ugal ugalan sehingga dia rela ikut mengantre beras mutah Bulog.
Sesuai harapannya, harga beras baik medium dan premium tidak akan jauh beranjak dari HET yang ditetapkan pemerintah. Suatu spekulasi yang meleset.
Kondisi sebenarnya
Secara tehnis harus diskusi El Nino telah menyebabkan bergeser nya pola tanam mundur beberapa bulan. Sehingga musim rendeng baru mulai April. Kondisi ini ikut berkontribusi pada makin berkurang nya produksi gabah petani.
BPS mencatat produksi gabah kering giling (GKG) nasional turun 1,7 persen dari 54,75 juta ton pada 2022 menjadi 53,98 juta ton pada 2023. Dalam periode
perbandingan yang sama produksi beras juga menyusut 1,36 persen dari 31,54 juta ton menjadi 31:,1 juta ton.
Disisi lain nampak bahwa pertumbuhan sub sektor tanaman pangan ikut juga menurun yaitu minus 3,88 persen sepanjang tahun 2023, padahal tahun sebelumnya masih tumbuh positip walaupun hanya 0,88 persen secara tahunan.
Kondisi makro dan tehnis ini pada akhirnya yang paling terpukul adalah para petani, buruh tani, pekerja sektor pertanian termasuk konsumen pada umumnya.
Jalan keluar
Pemerintah selalu memberi jalan keluar yang bersifat sementara jangka pendek. Dikatakannya dalam beberapa bulan mendatang harga akan turun sembari mengandalkan beras impor demi stabilisasi harga. Langkah ini berhasil tetapi apakah setiap saat langkah ini akan ditempuh? Tentunya tidak demikian hal nya. Dibutuhkan langkah yang sistematis yang nantinya langkah tersebut mampu mensejahterakan petani tanpa mengorbankan konsumen.
Kelembagaan yang kuat yang dikelola oleh petani sendiri integral dari hulu sampai hilir, mungkin itu salah satu alternatif nya. Semoga tidak terjadi lagi psra petani mengantri produk yang dia hasilkan sendiri.
Kota Depok, Maret 2024
M. Chairul Arifin
1 jam yang lalu
Wednesday, 15 January 2025 15:02 WIB
Wednesday, 15 January 2025 14:47 WIB
You must login to comment...
Be the first comment...