Minyak Jelantah dari Dapur MBG Dijual, Anggota DPR Minta Transparansi Pengelolaan

Pers Pangannews

Friday, 27 June 2025 19:41 WIB

news
Ilustrasi minyak jelantah. (Foto : jabarprov.go.id)

Pangannews.id - Pemanfaatan minyak jelantah bekas memasak dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk dijual sebagai bahan baku bioavtur dinilai sebagai langkah positif dalam mendukung ekonomi hijau.

Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengingatkan pentingnya pengelolaan yang transparan dan akuntabel terhadap hasil penjualan minyak bekas tersebut.

“Harus jelas, hasil penjualannya ke mana? Apakah dimasukkan sebagai tambahan pemasukan untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)? Kalau iya, uang itu digunakan untuk apa? Jangan sampai menimbulkan celah penyalahgunaan,” ujar Nurhadi, Jumat (27/6/2025).

Menurut politikus Partai Nasdem ini, ide menjual minyak jelantah sebagai bahan bioavtur memiliki nilai tambah, terutama dari sisi keberlanjutan lingkungan. Namun, ia menegaskan agar tidak ada kompromi terhadap aspek etika dan kesehatan, terutama terkait kemungkinan minyak bekas tersebut kembali dikonsumsi oleh masyarakat.

“Minyak jelantah tidak layak dikembalikan ke masyarakat sebagai bantuan pangan. Itu sama saja menjadikan masyarakat rentan sebagai tempat pembuangan limbah pangan,” tegasnya.

Sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut minyak jelantah dari dapur MBG bisa ditampung dan dijual dengan harga Rp 7.000 per liter kepada industri pengolah bioavtur, bahkan berpotensi untuk diekspor.

Dari data BGN, satu unit dapur MBG rata-rata menghabiskan 800 liter minyak goreng per bulan, dan sekitar 550 liter di antaranya berubah menjadi minyak jelantah.

Nurhadi pun mendorong agar pemerintah tak hanya fokus pada minyak jelantah, tapi juga membuat sistem pengelolaan limbah terpadu dari seluruh proses program MBG.

“Limbah dari dapur MBG itu bukan cuma minyak. Ada sisa makanan, sayuran busuk, plastik, dan sampah non-organik lainnya. Perlu ada desain pengelolaan limbah yang menyeluruh,” katanya.

Ia menekankan bahwa MBG adalah program nasional berskala besar dan berjalan setiap hari, sehingga potensi dampak lingkungan dari limbahnya tidak bisa diabaikan.

Menurutnya, jika pengelolaan limbah MBG dijalankan dengan baik, maka program ini tak hanya menyasar gizi masyarakat, tapi juga bisa menjadi model baru penerapan ekonomi sirkular di sektor publik.

“Jadi ya kita dukung. Kalau programnya baik, kita apresiasi. Tapi kalau ada catatan, tentu harus kita evaluasi,” tutup Nurhadi.

Editor : Adi Permana


Kolom Komentar

You must login to comment...